KEARIFAN
LOKAL MASYARAKAT BADUY
Di
Susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan
Dosen
Pengampu : Dr. Adang Heriawan M.Pd
DISUSUN
OLEH :
APRIANTI DERLIS
2227141591
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG – BANTEN
2015
Kata Pengantar
Puji syukur saya
panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan beribu-ribu nikmat sehingga
saya bisa menyelesaikan tugas karya ilmiah ini. Salawat serta salam tak lupa
juga saya limpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman terang benderang. Dalam proses penulisan karya
ilmiah ini saya telah berusaha dalam segala upaya untuk menyelesaikannya
meskipun saya menyadari bahwa karya ilmiah ini sangat jauh dari kesempurnaan
sehingga banyak kendala yang terjadi, tetapi kendala tersebut dapat teratasi
berkat bantuan dari pembimbing. Dengan rasa bangga saya mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Bapak Dr. Adang Heriawan M. Pd selaku pembimbing dan dosen mata
kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan yang telah memberikan pengarahan dalam
penyusunan karya ilmiah ini.
2. Orang tua saya yang telah memberikan dukungan moril maupun
materil.
3. Dan kepada teman-teman yang telah memberikan semangat dan
inspirasi semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda kepada yang
tersebut diatas.
Demikian karya ilmiah ini semoga
bermanfaat, dan kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan
guna perbaikan selanjutnya.
Serang, 5 Desember 2015
Aprianti Derlis
A. Asal mula dan Proses masuknya suku Baduy di Banten (Epistemologis
& Aksiologis)
Di
provinsi Banten terdapat sebuah komunitas yang hidup sangat sederhana dengan
menggantungkan hidup terutama dari bercocok tanam padi dan tanpa menghiraukan
perkembangan zaman. Masyarakat yang sangat tertutup dari pengaruh budaya luar
ini dikenal dengan sebutan Masyarakat Baduy, orang Baduy atau orang Kanekes.
Mereka lebih senang dipanggil dengan sebutan Orang Kanekes yaitu nama daerah
yang mereka tinggali, sedangkan sebutan baduy merupan sebutan dari peneliti
Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah
karena adanya sungai Baduy dan Gunung Baduy di bagian utara dari wilayah
tersebut.
Komuitas ini
mendiami lereng pegunungan Kendeng dengan luas wilayah sekitar 5.101,85
hektare. Secara administrative terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuidamar,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Orang
kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari 7 dewa atau batara
yang diutus kebumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan nabi Adam
sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya
termasuk warga kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk
menjaga harmoni dunia.
Menurut para ahli sejarah asal usul warga kanekes yang dibuktikan dengan
adanya prasasti, catatan pelaut asal portugis dan tiongkok serta cerita rakyat
mengenai “tatar sunda” yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat kanekes
dikaitkan dengan kerajaan sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke – 16
berpusat di pakuan pajajaran tepatnya sekarang disekitar wilayah bogor. Sebelum
berdirinya kesultanan Banten, wilayah ujung pulau Jawa ini merupakan bagian
penting dari kerajaan sunda.
Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai ciujung dapat
dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai untuk pengangkutan hasil bumi dari
wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut
dengan Pangeran Pucuk umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu
dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang
sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kerajaan berhutan lebat dan
berbukit diwilayah Gunung kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya
yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat baduy yang sampai
sekarang masih mendiami wilayah hulu sungai ciujung digunung kendeng tersebut.
Pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas
dan kesejarahan mereka sengaja ditutup yang mungkin adalah untuk melindungi
komunitas baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
B. Nilai Moral yang terdapat dalam Masyarakat Baduy (Ontologis)
Baduy adalah sekelompok masyarakat adat sunda
yang masih menjaga erat adat istiadat, norma dan tradisi yang yang sudah ada
sejak zaman dahulu. Orang Baduy baik secara etnis, geografis, sejarah, bahasa,
juga dalam pengakuan mereka sendiri adalah Orang Sunda. Untuk membedakan dengan
Orang Sunda lainnya yang bertempat tinggal dan berasal dari luar daerah
Kanekes, mereka menamakan dirinya Sunda Wiwitan. Kepercayaan masyarakat baduy
yang disebut sebagai sunda wiwitan berakar pada pemujaan arwah nenek moyang atau
disebut dengan animisme yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi
oleh agama budha, hindu dan islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan
adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan
sehari-hari orang kanekes. Isi terpenting dari pikukuh (kepatuhan) kanekes
tersebut adalah konsep “ tanpa perubahan apapun” atau tidak ada perubahan
sedikit pun. Adapun isi dari Pikukuh tersebut adalah :
Buyut nu dititipkeun ka puun
Nagara satelung puluh telu
Bangsawan sawidak lima
Pancer salawe Nagara
Gunung teu meunang dilebur
Lebak teu meunang diruksak
Larangan teu meunang ditempak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung
Nu lain kudu dilainkeun
Nu ulah kudu diulahkeun
Nu enya kudu dienyakeun
Mipit kudu pamit
Ngala kudu menta
Ngeduk cikur kudu mihatur
Nyokel jahe kudu micarek
Ngagedag kudu beware
Nyaur kudu diukur
Nyabda kudu diunggang
Ulah ngomong sageto-geto
Ulah lemek sadaek-daek
Ulah maling papanjingan
Ulah jinah papacangan
Kudu ngadek sacekna
Nilas saplasna
Akibatna
Matak burung jadi ratu
Matak edan jadi menak
Matak pupul pangaruh
Matak hambar komara
Matak teu mahi juritan
Matak teu jaya perang
Matak eleh jajaten
Matak eleh kasakten
Pikukuh mengatur
juga mengenai kelembagaan yang ada di dalam masyarakat Baduy yakni lembaga adat
Baduy dipimpin oleh tiga orang puun. Ketiga pemimpin tertinggi berasal dari
tiga kampong keramat di baduy dalam, yaitu cibeo, cikeusik, dan cikartawana.
Puun adalah orang suci keturunan karuhun (leluhur) yang berkewajiban menjaga
kelestarian pancer bumi dan sanggup menuntun warganya berpedoman pada pikukuh atau ketentuan adat mutlak
sebagai panduan perilaku.
Selain itu juga,
ketentuan adat dalam masyarakat baduy yaitu larangan adat yang merupakan
pedoman dan pandangan hidup yang harus dijalankan secara benar. Isi larangan
adat masyarakat baduy tersebut adalah :
·
Dilarang mengubah jalan air
seperti membuat kolam ikan atau drainase.
·
Dilarang mengubah bentuk
tanah seperti membuat sumur atau meratakan tanah.
·
Dilarang masuk ke hutan
titipan untuk menebang pohon.
·
Dilarang menggunakan
teknologi kimia.
·
Dilarang menanam budidaya
perkebunan.
·
Dilarang memelihara
binatang berkaki empat seperti kambing dan kerbau.
·
Dilarang berladang
sembarangan.
·
Dilarang berpakaian
sembarangan.
Penyampaian
buyut karuhun dan pikukuh karuhun kepada seluruh masyarakat baduy dilakukan
secara lisan dalam bentuk ujaran-ujaran disetiap upacara-upacara adat. Ujaran
tersebut adalah prinsip masyarakat baduy.
Masyarakat
baduy sengaja mengasingkan diri dari dunia luar agar terhindar dari pengaruh
budaya luar yang masuk. Ditengah gempuran globalisasi dan modernisasi,
masyarakat baduy masih setia menjaga nilai budaya dasar yang dimiliki dan
diyakininya, mereka juga sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni, agar
nantinya bisa mereka nikmati hasilnya. Kearifan lokal yang diterapkan di
masyarakat baduy ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat
kita saat ini yang telah tercemar oleh budaya luar akibat dari globalisasi dan
modernisasi. Meskipun suku baduy tidak mendapat perhatian pemerintah bahkan
tidak menikmati fasilitas Negara, namun mereka tetap menghargai dan menghormati
pemerintah nasional sebagai penguasa hal itu di buktikan dengan setiap tahun
suku baduy masih memberikan hasil panen mereka kepada gubernur Banten melalui
bupati Lebak sebagai wujud rasa hormat mereka.
Suku
baduy terdiri dari baduy dalam dan baduy luar. Baduy dalam adalah mereka yang
masih kental dengan adat istiadat dan masih mematuhi peraturan suku mereka,
seperti masih menggunakan baju adat tenun batik hitam putih, tidak menggunakan
listrik dan barang-barag elektronik, dan tidak menggunakan uang sebagai alat
tukar, melainkan mereka menanam sendiri bahan-bahan makanan yang kemudian akan
mereka petik sendiri hasilnya untuk mencukupi kebutuhannya. Sedangkan suku
baduy luar, sering menggunakan baju hitam dan biru tua yang menandakan mereka
sudah tidak suci lagi bahkan kadang mereka menggunakan pakaian seperti
masyarakat modern seperti kaos oblong, mereka juga sudah mengenal teknologi dan
barang-barang elektronik yang dilarang oleh aturan masyarakat suku baduy,
tetapi meskipun mereka sudah tercampur dengan budaya luar, masyarakat baduy
luar sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni seperti tidak menggunakan
sabun dan deterjen yang mengandung bahan kimia yang dapat mencemari air sungai.
Kearifan lokal masyarakat baduy dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita
untuk menjaga dan melestarikan alam ciptaan tuhan yang tidak ternilai harganya,
seperti hutan , sungai, laut dll. Karena ketika alam sudah tercemar, sukar
untuk diperbaiki lagi. Dan tradisi mereka yang tidak mennganggap uang adalah
segalanya, mereka masih bisa bertahan hidup tanpa uang, mereka mamanfaatkan
hasil alam untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sudah
jelas bahwa pikukuh atau peraturan adat masyarakat baduy mengatur sedemikian
rupa perilaku masyarakat nya agar tidak mencemari lingkungan, merusak alam yang
telah dititipkan tuhan, dan menjaga lingkungan agar tetap terjaga keasrian nya,
dari sini kita bisa belajar bahwa ala mini adalah harta titipan tuhan yang
tidak ternilai harganya, maka dari itu kita harus sama-sama menjaga dan
melestarikannya, masyarakat baduy pula mengajarkan kita untuk tidak hidup
bergantung pada uang, kita masih bisa hidup tanpa uang dengan memanfaatkan
hasil kekayaan bumi yang kita miliki. Hal ini menjadi pelajaran untuk
rezim-rezim yang tidak bertanggung jawab menjual hasil kekayaan bumi kita
sembarangan, akibatnya kita sebagai warga Negara Indonesia yang mempunyai hak
atas hasil kekayaan bumi Indonesia, tidak bisa menkmati hasil kekayaan alam
kita sendiri. Mereka juga mengajarkan untuk menghargai sesama makhluk hidup
ciptaan tuhan dan berucap tidak sembarangan.