Selasa, 15 Desember 2015

kearifan lokal masyarakat baduy

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BADUY
Di Susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. Adang Heriawan M.Pd



DISUSUN OLEH :
APRIANTI DERLIS
2227141591


PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG – BANTEN
2015

Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan beribu-ribu nikmat sehingga saya bisa menyelesaikan tugas karya ilmiah ini. Salawat serta salam tak lupa juga saya limpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang. Dalam proses penulisan karya ilmiah ini saya telah berusaha dalam segala upaya untuk menyelesaikannya meskipun saya menyadari bahwa karya ilmiah ini sangat jauh dari kesempurnaan sehingga banyak kendala yang terjadi, tetapi kendala tersebut dapat teratasi berkat bantuan dari pembimbing. Dengan rasa bangga saya mengucapkan terima kasih kepada :
1.       Bapak Dr. Adang Heriawan M. Pd selaku pembimbing dan dosen mata kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan karya ilmiah ini.
2.       Orang tua saya yang telah memberikan dukungan moril maupun materil.
3.       Dan kepada teman-teman yang telah memberikan semangat dan inspirasi semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda kepada yang tersebut diatas.
Demikian karya ilmiah ini semoga bermanfaat, dan kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan guna perbaikan selanjutnya.



Serang, 5 Desember 2015

Aprianti Derlis





A.      Asal mula dan Proses masuknya suku Baduy di Banten (Epistemologis & Aksiologis)
Di provinsi Banten terdapat sebuah komunitas yang hidup sangat sederhana dengan menggantungkan hidup terutama dari bercocok tanam padi dan tanpa menghiraukan perkembangan zaman. Masyarakat yang sangat tertutup dari pengaruh budaya luar ini dikenal dengan sebutan Masyarakat Baduy, orang Baduy atau orang Kanekes. Mereka lebih senang dipanggil dengan sebutan Orang Kanekes yaitu nama daerah yang mereka tinggali, sedangkan sebutan baduy merupan sebutan dari peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya sungai Baduy dan Gunung Baduy di bagian utara dari wilayah tersebut.
Komuitas ini mendiami lereng pegunungan Kendeng dengan luas wilayah sekitar 5.101,85 hektare. Secara administrative terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Orang kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari 7 dewa atau batara yang diutus kebumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya termasuk warga kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Menurut para ahli sejarah asal usul warga kanekes yang dibuktikan dengan adanya prasasti, catatan pelaut asal portugis dan tiongkok serta cerita rakyat mengenai “tatar sunda” yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat kanekes dikaitkan dengan kerajaan sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke – 16 berpusat di pakuan pajajaran tepatnya sekarang disekitar wilayah bogor. Sebelum berdirinya kesultanan Banten, wilayah ujung pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari kerajaan sunda.
Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut dengan Pangeran Pucuk umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kerajaan berhutan lebat dan berbukit diwilayah Gunung kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu sungai ciujung digunung kendeng tersebut. Pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
B.      Nilai Moral yang terdapat dalam Masyarakat Baduy (Ontologis)
 Baduy adalah sekelompok masyarakat adat sunda yang masih menjaga erat adat istiadat, norma dan tradisi yang yang sudah ada sejak zaman dahulu. Orang Baduy baik secara etnis, geografis, sejarah, bahasa, juga dalam pengakuan mereka sendiri adalah Orang Sunda. Untuk membedakan dengan Orang Sunda lainnya yang bertempat tinggal dan berasal dari luar daerah Kanekes, mereka menamakan dirinya Sunda Wiwitan. Kepercayaan masyarakat baduy yang disebut sebagai sunda wiwitan berakar pada pemujaan arwah nenek moyang atau disebut dengan animisme yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama budha, hindu dan islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang kanekes. Isi terpenting dari pikukuh (kepatuhan) kanekes tersebut adalah konsep “ tanpa perubahan apapun” atau tidak ada perubahan sedikit pun. Adapun isi dari Pikukuh tersebut adalah :
Buyut nu dititipkeun ka puun
Nagara satelung puluh telu
Bangsawan sawidak lima
Pancer salawe Nagara
Gunung teu meunang dilebur
Lebak teu meunang diruksak
Larangan teu meunang ditempak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung
Nu lain kudu dilainkeun
Nu ulah kudu diulahkeun
Nu enya kudu dienyakeun
Mipit kudu pamit
Ngala kudu menta
Ngeduk cikur kudu mihatur
Nyokel jahe kudu micarek
Ngagedag kudu beware
Nyaur kudu diukur
Nyabda kudu diunggang
Ulah ngomong sageto-geto
Ulah lemek sadaek-daek
Ulah maling papanjingan
Ulah jinah papacangan
Kudu ngadek sacekna
Nilas saplasna
Akibatna
Matak burung jadi ratu
Matak edan jadi menak
Matak pupul pangaruh
Matak hambar komara
Matak teu mahi juritan
Matak teu jaya perang
Matak eleh jajaten
Matak eleh kasakten
Pikukuh mengatur juga mengenai kelembagaan yang ada di dalam masyarakat Baduy yakni lembaga adat Baduy dipimpin oleh tiga orang puun. Ketiga pemimpin tertinggi berasal dari tiga kampong keramat di baduy dalam, yaitu cibeo, cikeusik, dan cikartawana. Puun adalah orang suci keturunan karuhun (leluhur) yang berkewajiban menjaga kelestarian pancer bumi dan sanggup menuntun warganya berpedoman  pada pikukuh atau ketentuan adat mutlak sebagai panduan perilaku.
Selain itu juga, ketentuan adat dalam masyarakat baduy yaitu larangan adat yang merupakan pedoman dan pandangan hidup yang harus dijalankan secara benar. Isi larangan adat masyarakat baduy tersebut adalah :
·         Dilarang mengubah jalan air seperti membuat kolam ikan atau drainase.
·         Dilarang mengubah bentuk tanah seperti membuat sumur atau meratakan tanah.
·         Dilarang masuk ke hutan titipan untuk menebang pohon.
·         Dilarang menggunakan teknologi kimia.
·         Dilarang menanam budidaya perkebunan.
·         Dilarang memelihara binatang berkaki empat seperti kambing dan kerbau.
·         Dilarang berladang sembarangan.
·         Dilarang berpakaian sembarangan.
Penyampaian buyut karuhun dan pikukuh karuhun kepada seluruh masyarakat baduy dilakukan secara lisan dalam bentuk ujaran-ujaran disetiap upacara-upacara adat. Ujaran tersebut adalah prinsip masyarakat baduy.
Masyarakat baduy sengaja mengasingkan diri dari dunia luar agar terhindar dari pengaruh budaya luar yang masuk. Ditengah gempuran globalisasi dan modernisasi, masyarakat baduy masih setia menjaga nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya, mereka juga sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni, agar nantinya bisa mereka nikmati hasilnya. Kearifan lokal yang diterapkan di masyarakat baduy ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat kita saat ini yang telah tercemar oleh budaya luar akibat dari globalisasi dan modernisasi. Meskipun suku baduy tidak mendapat perhatian pemerintah bahkan tidak menikmati fasilitas Negara, namun mereka tetap menghargai dan menghormati pemerintah nasional sebagai penguasa hal itu di buktikan dengan setiap tahun suku baduy masih memberikan hasil panen mereka kepada gubernur Banten melalui bupati Lebak sebagai wujud rasa hormat mereka.

Suku baduy terdiri dari baduy dalam dan baduy luar. Baduy dalam adalah mereka yang masih kental dengan adat istiadat dan masih mematuhi peraturan suku mereka, seperti masih menggunakan baju adat tenun batik hitam putih, tidak menggunakan listrik dan barang-barag elektronik, dan tidak menggunakan uang sebagai alat tukar, melainkan mereka menanam sendiri bahan-bahan makanan yang kemudian akan mereka petik sendiri hasilnya untuk mencukupi kebutuhannya. Sedangkan suku baduy luar, sering menggunakan baju hitam dan biru tua yang menandakan mereka sudah tidak suci lagi bahkan kadang mereka menggunakan pakaian seperti masyarakat modern seperti kaos oblong, mereka juga sudah mengenal teknologi dan barang-barang elektronik yang dilarang oleh aturan masyarakat suku baduy, tetapi meskipun mereka sudah tercampur dengan budaya luar, masyarakat baduy luar sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni seperti tidak menggunakan sabun dan deterjen yang mengandung bahan kimia yang dapat mencemari air sungai. Kearifan lokal masyarakat baduy dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk menjaga dan melestarikan alam ciptaan tuhan yang tidak ternilai harganya, seperti hutan , sungai, laut dll. Karena ketika alam sudah tercemar, sukar untuk diperbaiki lagi. Dan tradisi mereka yang tidak mennganggap uang adalah segalanya, mereka masih bisa bertahan hidup tanpa uang, mereka mamanfaatkan hasil alam untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sudah jelas bahwa pikukuh atau peraturan adat masyarakat baduy mengatur sedemikian rupa perilaku masyarakat nya agar tidak mencemari lingkungan, merusak alam yang telah dititipkan tuhan, dan menjaga lingkungan agar tetap terjaga keasrian nya, dari sini kita bisa belajar bahwa ala mini adalah harta titipan tuhan yang tidak ternilai harganya, maka dari itu kita harus sama-sama menjaga dan melestarikannya, masyarakat baduy pula mengajarkan kita untuk tidak hidup bergantung pada uang, kita masih bisa hidup tanpa uang dengan memanfaatkan hasil kekayaan bumi yang kita miliki. Hal ini menjadi pelajaran untuk rezim-rezim yang tidak bertanggung jawab menjual hasil kekayaan bumi kita sembarangan, akibatnya kita sebagai warga Negara Indonesia yang mempunyai hak atas hasil kekayaan bumi Indonesia, tidak bisa menkmati hasil kekayaan alam kita sendiri. Mereka juga mengajarkan untuk menghargai sesama makhluk hidup ciptaan tuhan dan berucap tidak sembarangan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar