Aku memulai
ceritaku pada bagian ini, bagian dimana kesempurnaan keluarga masih terasa.
Bagian dimana kebahagiaan sekaligus kesedihan bergulat menjadi satu memory yang
tak terlupakan.
Memory With Papa
“kriiing...!”
Suara
alarm berdengking membuatku mengerjapkan mata dan terbangun dari tidur nyenyak
ku, dan terpaksa memutus mimpi indah ku tadi malam. “emmmh…udah pagi”
tuturku sedikit putus-putus karena kerongkongan ku kering tidak tersentuh air
tadi malam. Dengan malas aku menggeliatkan badan ku dan beranjak meninggalkan
tempat tidur kesayangan ku. Seperti yang ku lakukan sepanjang hari, setelah
bangun tidur segera membuka pintu kamar untuk mengecek penghuni rumah, ternyata
tak seorang pun sosok yang ku lihat pagi ini. “huh… aku bangun kesiangan”.
Aku terkejut bercampur kesal sambil melirik jam beker di sudut meja kecil
disamping ranjang ku. Tanpa ba-bi-bu aku lekas bergegas mandi dan bersiap-siap,
tapi saat aku membuka lemari aku melihat pemandangan tak mengenakkan pagi itu,
seragam sekolah ku tak ada pada tempatnya. Serentak aku memanggil mama.
Seluruh
penghuni rumah tidak akan melarangku untuk bersuara keras, bahkan hingga
menggerakkan seisi rumah pun, mereka tidak akan melarangku. Karena akan sia-sia
jika mereka memarahiku, aku tidak akan pernah berubah, menghilangkan kebiasaan
itu tidak mudah bukan ?. tidak seperti
biasanya, tak ada jawaban dari mama. “ mama sudah pergi ke sekolah dari tadi
nak, lebih baik kamu sarapan dulu, nasi gorengnya udah mau dingin tuh..!”
aku hafal betul suara itu. Itu suara papa. “apa..? mama udah pergi dari tadi
? kenapa papa gak bangunin aku pa, aku kesiangan…” sahut ku seraya
mendekati arah suara yang tidak asing itu. “ tadi mama buru-buru nak, jadi
gak sempet bangunin kamu, udah saatnya kamu membiasakan diri bangun sendiri,
kamu kan udah besar nak”,aku terdiam sejenak, aku selalu tidak bisa
menyengkal kalu papa sudah berbicara. Karena setiap yang keluar dari mulutnya
menurutku semuanya benar.
“terus…,
seragamku kenapa tidak ada di lemari pa, masa aku harus pake yang lama, itu kan
sudah lusuh…” lagi-lagi aku membuat keruh keadaan
dengan kata-kata ku yang menjengkelkan. “ya udah, pakai aja yang lama dulu,
kamu gak punya banyak waktu buat mencarinya, jangan khawatir lusuh nanti papa
setrika dulu…yah!”menepuk pundak ku kemudian bergegas menuju kamar ku untuk
menjalankan misi nya, menyetrika baju ku. Masya Allah aku benar-benar ingin
kembar siam hati nya dengan papa. Perangainya menyejukkan. Selalu menghadapi
kekalutan dengan senyum termanisnya sebagai isyarat bahwa ‘ hadapi masalah
dengan kepala dingin’. Nasi goreng ku sudah lenyap di atas piring dan berpindah
ke perut ku. Ku lihat senyum manis papa tersungging lagi di pipinya, “lihat,
papa tidak kalah dengan mama mu kan, menyetrika itu hal mudah buat papa, ayo
siap-siap sana “ tanpa pikir panjang aku menyambar pakaian di tangan papa
sambil membalas senyum aku terdiam sejenak, aku yakin seorang ayah di dunia ini
yang paling baik adalah papa, malaikat yang menjelma manusia adalah papa ku.
Papa, aku merasa aku adalah anak yang paling beruntung di muka bumi karena
memiliki ayah sebaik papa. Terima kasih papa, aku tidak jengkel walaupun baju
ku tidah rapih sempurna, aku lebih menyesal jika aku tidak berterima kasih
kepada Allah yang telah menakdirkan papa sebagai ayahku. Papa aku berjanji akan
memberikan dunia ini untuk mu seluruhnya, nanti pasti akan tiba waktunya.
Sayang, kalimat itu hanya terucap dalam hati, segera terhenti karena di kepala
ku adalah bayangan pak kumis dengan semangat sedang menutup gerbang sekolah ku.
Itulah episode ku bersama papa yang
hingga saat ini, bahkan mungkin sepanjang hayat ku, aku tidak akan pernah bisa
melupakan nya secuil pun dari memory itu. Karena tidak akan ada lagi sosok
laki-laki yang bisa menggantikan mama untuk
menyiapkan sarapan pagi, tidak akan ada lagi papa yang menyetrika baju
seragam.
Untuk
ku, tidak ada lagi malaikat menjelma manusia yang memberikan petuah menyejukkan
hati sebelum aku berangkat ke sekolah.
Rabu, 3 september 2008. Hari yang
tidak pernah aku inginkan terjadi dalam hidup ku. Saat aku sudah duduk di kelas
1 MTs, aku santriwati di sebuah Pondok Pesantren pilihan orang tua ku. Tempat
dimana kedua orang tua ku menancapkan sejuta harapan untuk ku. Harapan supaya
aku menjadi anak yang cerdas dan sholihah, supaya aku bisa menghantarkan orang
tua ku ke syurga-Nya. Saat itu bel tanda istirahat berbunyi.
Seluruh
siswa sumringah dan berebut pintu untuk beristirahat. Untuk murid di sana,
waktu istirahat adalah waktu yang di tunggu-tunggu, karena dalam waktu 30 menit
mereka bisa merilekskan badan dengan rebahan di asrama, ‘meneruskan sarapan
tadi pagi yang belum sempat dihabiskan, jajan makanan ringan dan sebagainya’.
Terlebih
saat itu aku dapat panggilan dari salah satu guru ku di sekolah itu. Aku di
jenguk oleh saudara ku. Ah, hati senang bukan kepalang. Tapi kenapa saudara ku
yang menjenguk ku, kenapa bukan mama atau papa. Setelah tiba di sekertariat
tempat menjenguk santri, ku dapati sepupu ku tersenyum datar, “ hari ini
kamu harus pulang ,mama menyuruh kamu pulang perizinan sudah di bereskan tadi “
di gapainya tangan ku, ku rasakan gemetar di ujung jemarinya, ku amati mata nya
berkaca-kaca seperti sebentar lagi akan jatuh butir-butir bening dari kedua
matanya. Aku tidak akan menjawab, dalam hati ku aku bergulat. Aku sangat senang
jika dijenguk, apalagi diajak pulang. Tapi kenapa hari ini rasa senang itu
tidak terbesit sedikitpun. Diumurku yang ke-10 tahun sudah cukup mengerti
banyak hal. Tangannya yang semakin gemetar dan kulihat butir air mata yang
berjatuhan. Aku semakin yakin, ini bertanda buruk sedang menimpa keluargaku.
Reflek aku menyambut genggaman tangannya. Melangkah pulang meninggalkan pondok
ku untuk sementara waktu, tidak terpikir tentang pakaian ganti untuk kembali
nanti, yang ada di otakku hanyalah curiga. Menebak-nebak, benarkah firasatku
apa yang sebenarnya terjadi?.
Papa,
mama bukankah 2 hari yang lalu mereka menjengukku, meski setelah ku ingat waktu
itu keadaan papa sedang melemah. Tapi…., apakah mungkin itu sangat parah, apa
mungkin itu menjadikan pertemuan terakhir ku bersamanya. Mama, apakah mama
mengalami kecelakaan saat terburu-buru ke sekolah. Perjalanan ku menuju rumah
tidak menghabiskan waktu lama, aku telah sampai di pelataran rumah. “Ramai
sekali, ada apa..?”. pertanyaan terakhirku terjawab saat aku mendapati
bendera kuning sedikit tertiup angin di dekat pagar rumahku. Seketika aki
buncah, meski tergopoh-gopoh aku tetap menerobos keramaian itu. Hampir semuanya
menagis, rumahku ramai dengan isakan. Kudapati mama yang tangisannya semakin
keras saat mengetahui aku telah tiba dirumah. Bibirku bergetar, “siapa
disamping mama ?”, terbujur kaku ditutup dengan kain putih, labih ganjil
lagi, dari tadi aku tidak melihat papa. “papa, papa dimana ma..?” entah
aku berucap seadanya waktu itu. Mama menyerbuku, merangkul ku sangat erat, “papa
sudah pergi nak” tidak mungkin…!!. Meski dari tadi aku sangat menantikan
jawaban dari seribu perjalananku dari pondok dan selama perjalanan tadi, tapi
kenapa harus ini jawabannya. Adakah jawaban lain ? mama bisakah kau ganti
jawabanmu dengan hal yang lebih menyenangkan. Seperti mimpi, tapi ternyata
bukan mimpi ini nyata !. sesaat aku teringat pesan papa “ jika papa pergi
jauh, jangan pernah menangisi kepergian papa. Tetaplah jalani hidup dan gapai
cita-citamu”.
Terhitung empat tahun aku menjalani
hidup tanpa papa, semuanya berubah sejak papa pergi. Tak ada lagi kedamaian
dalam rumah, semua keindahan menghilang berubah menjadi musuh bagiku. Terkadang
ku terbayang bertemu dengan papa, jika aku masih diberi kesempatan izinkan aku
bertemu dengan papa walau hanya dalam hayalku. Aku akan mengucapkan terima
kasih karena telah menjadikan aku ada di dunia ini. Aku ingin merasakan kasih
sayang papa, tapi itu hanyalah harapan kosong. Tuhanku yang maha rohiim,
sampaikan salam sayangku untuknya. Selamat jalan papa.. kau tidak sendirian,
Allah sudah berjanji padaku, akan selalu menjagamu. Kesejukan yang kau tebarkan
dirumah dan didunia ini akan menyejukkan mu selalu dalam tidur panjangmu.
Good
bye papa…
Death
isn’t something that can be avoided. However, death is something that must be
faced. You’ll always live in our hearts forever papa. My prayer is always with
you
May
Allah forgive your mistakes. And may you rest in peace and your kindness will
be accepted by Allah.
Derlis, your always.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar