Minggu, 18 Oktober 2015

Cerpen Memory With papa

Aku memulai ceritaku pada bagian ini, bagian dimana kesempurnaan keluarga masih terasa. Bagian dimana kebahagiaan sekaligus kesedihan bergulat menjadi satu memory yang tak terlupakan.
Memory With Papa
Description: F:\DERLIS\tgng.jpg
“kriiing...!”
Suara alarm berdengking membuatku mengerjapkan mata dan terbangun dari tidur nyenyak ku, dan terpaksa memutus mimpi indah ku tadi malam. “emmmh…udah pagi” tuturku sedikit putus-putus karena kerongkongan ku kering tidak tersentuh air tadi malam. Dengan malas aku menggeliatkan badan ku dan beranjak meninggalkan tempat tidur kesayangan ku. Seperti yang ku lakukan sepanjang hari, setelah bangun tidur segera membuka pintu kamar untuk mengecek penghuni rumah, ternyata tak seorang pun sosok yang ku lihat pagi ini. “huh… aku bangun kesiangan”. Aku terkejut bercampur kesal sambil melirik jam beker di sudut meja kecil disamping ranjang ku. Tanpa ba-bi-bu aku lekas bergegas mandi dan bersiap-siap, tapi saat aku membuka lemari aku melihat pemandangan tak mengenakkan pagi itu, seragam sekolah ku tak ada pada tempatnya. Serentak aku memanggil mama.
Seluruh penghuni rumah tidak akan melarangku untuk bersuara keras, bahkan hingga menggerakkan seisi rumah pun, mereka tidak akan melarangku. Karena akan sia-sia jika mereka memarahiku, aku tidak akan pernah berubah, menghilangkan kebiasaan itu tidak mudah bukan ?. tidak  seperti biasanya, tak ada jawaban dari mama. “ mama sudah pergi ke sekolah dari tadi nak, lebih baik kamu sarapan dulu, nasi gorengnya udah mau dingin tuh..!” aku hafal betul suara itu. Itu suara papa. “apa..? mama udah pergi dari tadi ? kenapa papa gak bangunin aku pa, aku kesiangan…” sahut ku seraya mendekati arah suara yang tidak asing itu. “ tadi mama buru-buru nak, jadi gak sempet bangunin kamu, udah saatnya kamu membiasakan diri bangun sendiri, kamu kan udah besar nak”,aku terdiam sejenak, aku selalu tidak bisa menyengkal kalu papa sudah berbicara. Karena setiap yang keluar dari mulutnya menurutku semuanya benar.
“terus…, seragamku kenapa tidak ada di lemari pa, masa aku harus pake yang lama, itu kan sudah lusuh…” lagi-lagi aku membuat keruh keadaan dengan kata-kata ku yang menjengkelkan. “ya udah, pakai aja yang lama dulu, kamu gak punya banyak waktu buat mencarinya, jangan khawatir lusuh nanti papa setrika dulu…yah!”menepuk pundak ku kemudian bergegas menuju kamar ku untuk menjalankan misi nya, menyetrika baju ku. Masya Allah aku benar-benar ingin kembar siam hati nya dengan papa. Perangainya menyejukkan. Selalu menghadapi kekalutan dengan senyum termanisnya sebagai isyarat bahwa ‘ hadapi masalah dengan kepala dingin’. Nasi goreng ku sudah lenyap di atas piring dan berpindah ke perut ku. Ku lihat senyum manis papa tersungging lagi di pipinya, “lihat, papa tidak kalah dengan mama mu kan, menyetrika itu hal mudah buat papa, ayo siap-siap sana “ tanpa pikir panjang aku menyambar pakaian di tangan papa sambil membalas senyum aku terdiam sejenak, aku yakin seorang ayah di dunia ini yang paling baik adalah papa, malaikat yang menjelma manusia adalah papa ku. Papa, aku merasa aku adalah anak yang paling beruntung di muka bumi karena memiliki ayah sebaik papa. Terima kasih papa, aku tidak jengkel walaupun baju ku tidah rapih sempurna, aku lebih menyesal jika aku tidak berterima kasih kepada Allah yang telah menakdirkan papa sebagai ayahku. Papa aku berjanji akan memberikan dunia ini untuk mu seluruhnya, nanti pasti akan tiba waktunya. Sayang, kalimat itu hanya terucap dalam hati, segera terhenti karena di kepala ku adalah bayangan pak kumis dengan semangat sedang menutup gerbang sekolah ku.
            Itulah episode ku bersama papa yang hingga saat ini, bahkan mungkin sepanjang hayat ku, aku tidak akan pernah bisa melupakan nya secuil pun dari memory itu. Karena tidak akan ada lagi sosok laki-laki yang bisa menggantikan mama untuk  menyiapkan sarapan pagi, tidak akan ada lagi papa yang menyetrika baju seragam.
Untuk ku, tidak ada lagi malaikat menjelma manusia yang memberikan petuah menyejukkan hati sebelum aku berangkat ke sekolah.
            Rabu, 3 september 2008. Hari yang tidak pernah aku inginkan terjadi dalam hidup ku. Saat aku sudah duduk di kelas 1 MTs, aku santriwati di sebuah Pondok Pesantren pilihan orang tua ku. Tempat dimana kedua orang tua ku menancapkan sejuta harapan untuk ku. Harapan supaya aku menjadi anak yang cerdas dan sholihah, supaya aku bisa menghantarkan orang tua ku ke syurga-Nya. Saat itu bel tanda istirahat berbunyi.
Seluruh siswa sumringah dan berebut pintu untuk beristirahat. Untuk murid di sana, waktu istirahat adalah waktu yang di tunggu-tunggu, karena dalam waktu 30 menit mereka bisa merilekskan badan dengan rebahan di asrama, ‘meneruskan sarapan tadi pagi yang belum sempat dihabiskan, jajan makanan ringan dan sebagainya’.
Terlebih saat itu aku dapat panggilan dari salah satu guru ku di sekolah itu. Aku di jenguk oleh saudara ku. Ah, hati senang bukan kepalang. Tapi kenapa saudara ku yang menjenguk ku, kenapa bukan mama atau papa. Setelah tiba di sekertariat tempat menjenguk santri, ku dapati sepupu ku tersenyum datar, “ hari ini kamu harus pulang ,mama menyuruh kamu pulang perizinan sudah di bereskan tadi “ di gapainya tangan ku, ku rasakan gemetar di ujung jemarinya, ku amati mata nya berkaca-kaca seperti sebentar lagi akan jatuh butir-butir bening dari kedua matanya. Aku tidak akan menjawab, dalam hati ku aku bergulat. Aku sangat senang jika dijenguk, apalagi diajak pulang. Tapi kenapa hari ini rasa senang itu tidak terbesit sedikitpun. Diumurku yang ke-10 tahun sudah cukup mengerti banyak hal. Tangannya yang semakin gemetar dan kulihat butir air mata yang berjatuhan. Aku semakin yakin, ini bertanda buruk sedang menimpa keluargaku. Reflek aku menyambut genggaman tangannya. Melangkah pulang meninggalkan pondok ku untuk sementara waktu, tidak terpikir tentang pakaian ganti untuk kembali nanti, yang ada di otakku hanyalah curiga. Menebak-nebak, benarkah firasatku apa yang sebenarnya terjadi?.
Papa, mama bukankah 2 hari yang lalu mereka menjengukku, meski setelah ku ingat waktu itu keadaan papa sedang melemah. Tapi…., apakah mungkin itu sangat parah, apa mungkin itu menjadikan pertemuan terakhir ku bersamanya. Mama, apakah mama mengalami kecelakaan saat terburu-buru ke sekolah. Perjalanan ku menuju rumah tidak menghabiskan waktu lama, aku telah sampai di pelataran rumah. “Ramai sekali, ada apa..?”. pertanyaan terakhirku terjawab saat aku mendapati bendera kuning sedikit tertiup angin di dekat pagar rumahku. Seketika aki buncah, meski tergopoh-gopoh aku tetap menerobos keramaian itu. Hampir semuanya menagis, rumahku ramai dengan isakan. Kudapati mama yang tangisannya semakin keras saat mengetahui aku telah tiba dirumah. Bibirku bergetar, “siapa disamping mama ?”, terbujur kaku ditutup dengan kain putih, labih ganjil lagi, dari tadi aku tidak melihat papa. “papa, papa dimana ma..?” entah aku berucap seadanya waktu itu. Mama menyerbuku, merangkul ku sangat erat, “papa sudah pergi nak” tidak mungkin…!!. Meski dari tadi aku sangat menantikan jawaban dari seribu perjalananku dari pondok dan selama perjalanan tadi, tapi kenapa harus ini jawabannya. Adakah jawaban lain ? mama bisakah kau ganti jawabanmu dengan hal yang lebih menyenangkan. Seperti mimpi, tapi ternyata bukan mimpi ini nyata !. sesaat aku teringat pesan papa “ jika papa pergi jauh, jangan pernah menangisi kepergian papa. Tetaplah jalani hidup dan gapai cita-citamu”.
            Terhitung empat tahun aku menjalani hidup tanpa papa, semuanya berubah sejak papa pergi. Tak ada lagi kedamaian dalam rumah, semua keindahan menghilang berubah menjadi musuh bagiku. Terkadang ku terbayang bertemu dengan papa, jika aku masih diberi kesempatan izinkan aku bertemu dengan papa walau hanya dalam hayalku. Aku akan mengucapkan terima kasih karena telah menjadikan aku ada di dunia ini. Aku ingin merasakan kasih sayang papa, tapi itu hanyalah harapan kosong. Tuhanku yang maha rohiim, sampaikan salam sayangku untuknya. Selamat jalan papa.. kau tidak sendirian, Allah sudah berjanji padaku, akan selalu menjagamu. Kesejukan yang kau tebarkan dirumah dan didunia ini akan menyejukkan mu selalu dalam tidur panjangmu.
Good bye papa…
Death isn’t something that can be avoided. However, death is something that must be faced. You’ll always live in our hearts forever papa. My prayer is always with you
May Allah forgive your mistakes. And may you rest in peace and your kindness will be accepted by Allah.


Derlis, your always.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar